Selasa, 05 Agustus 2008

"Bersama Kita Kucilkan Koruptor.."

Untuk menekan korupsi makin marak di negeri ini, masyarakat bisa mengembangkan sanksi sosial bagi koruptor, seperti mengucilkan dan mempermalukan mereka. Namun, pemberlakuan sanksi sosial bagi koruptor dan keluarganya itu harus dijalankan secara alamiah. Korupsi harus dijadikan aib masyarakat.

Sanksi sosial dapat dilaksanakan setelah sanksi pidana bagi pelaku korupsi dituntaskan melalui pengadilan. Demikian diungkapkan sosiolog dari Universitas Indonesia, Tamrin Amal Tomagola, Rabu (23/7) di Jakarta.

Sejumlah ulama, beberapa waktu lalu, menyerukan agar tak mendoakan pelaku korupsi yang meninggal dunia. Pascaterung-kapnya skandal penyuapan di Kejaksaan Agung, sejumlah pegawai kejaksaan pun mengaku malu jika memakai seragam mereka. Masyarakat di sekitar juga sering mempertanyakan "kinerja" kejaksaan.

Tamrin menegaskan, penerapan sanksi sosial tak bisa dipaksakan. Sanksi sosial yang diserukan tokoh informal di lingkungan sekitar lebih efektif. "Setiap lingkungan punya mekanisme sendiri untuk mengungkapkan ketidaksukaannya kepada seseorang yang berbuat salah," ujarnya.
Sanksi sosial yang paling berat adalah pengucilan pelaku korupsi dari kehidupan sosial. "Masyarakat umumnya menghindari mempermalukan orang di depan umum. Namun, masyarakat meski di depan pelaku korupsi bersikap baik, tetapi di belakang mereka menolaknya." kata Tamrin.

Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi ("KPK) Johan Budi SP, Rabu, menambahkan, penangkapan terhadap tersangka pelaku korupsi adalah langkah untuk membuat jera. KPK tidak pernah memikirkan mempermalukan seseorang yang diduga melakukan korupsi. Rasa malu, kata Johan, mungkin akan timbul sebagai dampak sosial dari penangkapan atas diri seseorang. Namun, itu bukan tu-juan KPK. Demikian juga dengan pemutaran rekaman pembicaraan antara terdakwa dan orang lain juga bukan dilakukan untuk mempermalukan.
Momentum Pemilu 2009

Ahli hukum Universitas Gadjah Mada, Zainal Arifin Mochtar, di Yogyakarta menyatakan, masyarakat bisa memanfaatkan momentum Pemilu 2009 untuk menekan korupsi di negeri ini. Sebab itu, rakyat harus memilih calon yang jujur, bukan politisi busuk.
Anggota Komisi II DPR, Agus Condro Prayitno, Rabu, meminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberikan contoh percepatan penyidikan korupsi. Jangan terlalu lama menahan izin pemeriksaan terhadap tersangkakorupsi. ***

Sumber : Kompas, 24 Juli 2008

Selasa, 29 Juli 2008

Denny Indrayana: "Saya setuju jika hukuman mati bagi koruptor diberlakukan"



Direktur Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada, Denny Indrayana, mengatakan, polemik mengenai wacana hukuman mati bagi para koruptor akan menjadi perdebatan panjang yang mewarnai upaya pemberantasan korupsi.

Di satu sisi, menurut Denny, hukuman mati bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Tapi, di sisi lain, banyak pihak yang prihatin menyaksikan fenomena maraknya praktik mafia peradilan yang tidak jarang mengakibatkan vonis yang dijatuhkan kepada para koruptor mengenyampingkan rasa keadilan masyarakat.

Namun demikian, Denny setuju jika hukuman mati bagi koruptor diberlakukan. Terlepas hal itu bertentangan dengan Pancasila dan UUD '45, namun menurut penjelasan Pasal 2 UU Tipikor, hukuman mati sangat mungkin diberlakukan terhadap koruptor.

Denny mengatakan, jika pemerintah komit untuk memberantas korupsi, maka yang perlu juga dilakukan adalah memperbaiki kinerja aparat penegak hukum yang telanjur kehilangan kepercayaan dari masyarakat, pascaterbongkarnya kasus suap Urip Tri Gunawan, jaksa terbaik versi Kejaksaan Agung.

Denny juga menganjurkan agar pemerintah menghentikan pemberian grasi, amnesti, maupun rehabilitasi kepada terpidana kasus korupsi.

Sumber: Suarakarya-online.com/Senin, 28 Juli 2008

Hidayat Nurwahid: "Hukum Mati Koruptor !!!"



Pemerintah perlu segera menerapkan sanksi hukuman mati bagi koruptor yang telah terbukti melakukan tindak pidana korupsi dan merugikan keuangan negara dalam jumlah besar.

"Bagi siapa pun yang terbukti merugikan negara dengan jumlah yang sangat besar, hukuman mati bisa dilaksanakan," kata Ketua MPR Hidayat Nur Wahid, di Depok, Minggu.

Hidayat mengatakan dirinya telah meminta langsung kepada Kapolri dan Jaksa Agung untuk menerapkan hukuman yang terberat bagi para koruptor. "Ini untuk menyelamatkan masa depan bangsa Indonesia," ujarnya.

Pidana mati untuk koruptor di Indonesia bisa diberlakukan, bila mengacu kepada UU No 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Nur Wahid mengatakan, pelaksanaan hukuman mati tersebut diterapkan agar menimbulkan efek jera bagi koruptor, maupun calon koruptor. "Ini akan memberikan kepercayaan kepada masyarakat bahwa di negara kita hukum dapat ditegakkan dan masih ada perlindungan bagi rakyat," ujarnya.

Pelaksanaan hukuman mati, kata mantan Presiden PKS tersebut, harus dilakukan dengan tegas dan cepat. Ia yakin penerapan hukumam mati tidak akan menimbulkan protes dunia internasional. "Malaysia dan Singapura bisa menerapkan, mengapa Indonesia tidak," katanya. Bangsa ini, kata dia, membutuhkan pilihan tegas dan keberanian untuk menetapkan hukuman mati bagi para koruptor. Jika tidak, sulit membersihkan korupsi yang sudah menjadi budaya di Indonesia.

Sumber; suarakarya-online.com/Senin, 28 Juli 2008

Perbandingan Jumlah Uang Suap

Berikut adalah perbandingan empat jumlah uang sup dalam beberapa kasus yang ditangani KPK:

Pertama adalah Mulyana W Kusumah, saat itu anggota KPU. Mulyana terbukti menyuap auditor BPK Khairiansyah Salman Rp 300 juta. Mulyana pun dihukum 2 tahun 7 bulan.

Kedua,
Harini Wijoso, pengacara pengusaha Probosutedjo. Pensiunan hakim ini terbukti menyuap pejabat MA senilai Rp 4,8 miliar untuk mempermudah kasus kliennya. Harini divonis 4 tahun.

Ketiga
, AKP Suparman, penyidik KPK ini terbukti menerima suap dari Tintin Surtini senilai Rp 439 juta dan US$ 300 saat menyidik kasus korupsi PT Industri Sandang Nusantara. Suparman divonis 8 tahun.

Keempat, Irawady Joenoes, komisioner Komisi Yudisial (KY), diduga menerima Rp 600 juta dan US$ 30 ribu dari Freddy Santoso, rekanan KY. Irawady dituntut 6 tahun.

Jelaslah, dari data di atas, Jaksa Urip yang adalah ketua tim pemeriksa kasus BLBI II yang melibatkan obligor Sjamsul Nursalim -- adalah 'rekor terbaik'.

Urip dibekuk penyidik KPK setelah melakukan transaksi di rumah Sjamsul Nursalim di Jl Hang Lekir, Minggu 2 Maret, pukul 17.30 WIB. Bersama dia juga dibekuk Artalyta Suryani, orang dekat Sjamsul, yang diduga menyerahkan duit US$ 600 ribu pada Jaksa Urip, eks Kepala Kejaksaan Negeri Klungkung, Bali

Sumber: detiknews.com

Urip, The Six Billion Rupiah Man



Jika Hollywood punya The Six Million Dollar Man yang dibintangi Lee Majors, Indonesia punya The Six Billion Rupiah Man yang 'dibintangi' Jaksa Urip Tri Gunawan.

Dibandingkan dengan tersangka kasus suap yang sukses dibekuk KPK selama ini, uang yang diduga untuk menyuap Urip dalam kasus BLBI memang bikin mata terbelalak: US$ 660 ribu atau setara Rp 6,1 miliar. Uang segunung itu saat ditemukan penyidik KPK, disimpan di kardus Jellydrink di mobil Urip, Kijang LGX bernomor Bali.

Sumber: detikNews, Selasa, 04/03/2008

Beredar Foto Kapolri & Artalyta di Gedung DPR


Foto bersama Kapolri Jenderal Pol Sutanto dan tersangka suap Rp 6 miliar Artalyta Suryani beredar di gedung DPR. Anggota Dewan pun terkaget-kaget melihat foto itu.
Dalam foto ukuran 10 R itu terdapat tulisan Mr & Mrs Alexander Tedja, Mr & Mrs Kapolri Jenderal Pol Sutanto, Mrs Artalyta Suryani, Mr & Mrs Murdaya Po. Mereka berpose berdiri berjejer dan tersenyum dengan latar belakang bunga dan jendela.
Bos Pakuwon Group Alexander Tedja mengenakan setelan jas warna hitam dengan dasi biru dan istrinya terbalut baju warna pink. Kapolri tampak mengenakan setelan jas warna coklat dan istrinya terbalut baju warna krem. Artalyta mengenakan baju putih dan coklat, serta Murdaya Po mengenakan setelan jas dasi merah dan istrinya berbaju warna pink.
Foto itu dibagi-bagikan seorang perempuan kepada wartawan dan anggota Komisi III DPR di gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (5/3/2008).
"Kalau melihat foto seperti ini berarti banyak sekali teman-teman dia yang orang terkenal, para pejabat. Luar biasa ini," komentar anggota Komisi III DPR Arbab Paproeka. Politisi PAN ini lantas menaruh foto itu ke dalam tumpukan berkas-berkasnya. Angota FPG Victor Blaiskodat juga berkomentar sama. "Ini luar biasa. Tetapi ini kenapa Pak Po ada di sini," kata Victor seraya balik bertanya. Yang dimaksudnya adalah Murdaya Po, anggota DPR dari FPDIP.
Artalyta adalah istri bos Gajah Tunggal (alm Surya Dharma). Foto yang diedarkan di gedung DPR tampaknya adalah pesta perkawinan Eiffel Tedja, putra sulung Alexander Tedja, dengan putri Artalyta, Imelda Dharma. Mereka menikah dalam sebuah pesta supermewah di Ballroom Hotel Sheraton, Surabaya, pada 9 Juni 2007 lalu. Sebanyak 4.000 undangan disebar, 350 di antaranya tamu VIP, misalnya Kapolri, sejumlah menteri dan Gubernur DKI Sutiyoso.
Belum diketahui apakah foto itu asli atau tidak. Juga belum diketahui maksud penyebaran foto itu.
(aan/nrl)

Sumber: DetikNews.com/ Rabu, 05/03/2008 14:55 WIB

Artalyta "Ayin" Suryani


Koruptor yang satu ini tersangkut masalah sogok dan disogok bersama seorang jaksa Urip Tri Gunawan.  Orang deket salah pengemplang BLBI ini menyogok agar kasus bos-nya segera "diselesaikan oleh Kejaksaaan (tak) Agung. Artalyta adalah istri bos Gajah Tunggal (alm Surya Dharma).

Menurut Detik News, Selasa, 04/03/2008, nama Ayin terdapat dalam struktur DPP Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) pimpinan Gusdur sebagai Bendahara Umum. Artalyta Suryani yang menjadi bendahara umum PKB itu adalah tersangka penyuapan Rp 600 miliar kepada jaksa BLBI II, Urip Tri Gunawan.